Jakarta, Alkindyweb.com – Kepemimpinan Rajeev Suri di Nokia resmi berakhir pada 1 Agustus 2020. Pria keturunan India itu, menyerahkan tongkat estafet kepada Pekka Lundmark, 57 tahun.
Pekka sebelumnya adalah CEO Fortum, perusahaan pembangkit listrik milik negara. Pria paruh baya itu awalnya berencana mulai efektif bekerja pada 1 September. Tetapi dipercepat satu bulan dari rencana awal.
Pergantian posisi puncak di perusahaan jaringan telekomunikasi asal Finlandia itu, tak lepas dari kinerja Suri yang dinilai tidak mengesankan.
Kepemimpinan Suri di Nokia dirusak oleh ketidakmampuan perusahaan memproduksi chip utama untuk peralatan 5G, sehingga memaksa Nokia untuk membeli komponen dari pemasok lain. Hal ini pada akhirnya memotong margin keuntungan, sehingga menyulitkan perusahaan dapat segera keluar dari kubangan kerugian.
Suri yang menjabat sebagai CEO Nokia sejak 2014, mengungkapkan kepada investor bahwa dia perlu waktu lebih banyak untuk mengembangkan teknologi 5G berjalan dengan baik. Meski sudah mundur, setidaknya dia memiliki masa transisi selama beberapa bulan. Jika kelak keadaan berbalik selama periode waktu itu, Suri akan tetap menjadi penasihat dewan Nokia sampai akhir tahun ini.
Mundurnya Suri dari posisi puncak di Nokia, dianggap wajar oleh analis telekomunikasi. Kimmo Stenvall, analis dari OP Group, mengatakan, bahwa pasar telah sangat skeptis apakah Rajeev Suri bisa melanjutkan perannya sejak pedoman pengurangan biaya yang diumumkan perusahaan pada Oktober tahun lalu. Saat itu Nokia memutuskan untuk menunda dividen dan menghemat beragam pengeluaran demi berinvestasi di 5G.
“Dia belum bisa memberikan dan menambah nilai yang diharapkan dilakukannya bagi perusahaan, terutama di Era 5G.” ujar Kimmo.
Pergantian posisi puncak memang menjadi pilihan akhir bagi Nokia. Pasalnya vendor jaringan asal Finlandia itu kalah bersaing dalam perlombaan 5G, dan masih dibekap persoalan keuangan, imbas kerasnya persaingan dengan vendor sejenis.
Agresifitas perusahaan telekomunikasi China, terutama Huawei sepanjang lebih dari satu dekade terakhir, membuat Nokia seperti anak kemarin sore dalam bisnis jaringan telekomunikasi. Padahal vendor yang berbasis di Espoo – Helsinki itu, sudah menggeluti bisnis jaringan selular sejak 1990.
Memang setelah melakukan serangkaian efisiensi dan peningkatan kontrak 5G di sejumlah negara, pada akhir 2019, kinerja Nokia mulai membaik. Perusahaan mampu meraih pendapatan € 23,315 miliar, tumbuh 3% dibandingkan 2018.
Meski tumbuh kecil, Nokia membukukan laba € 18 juta pada 2019. Ini adalah kali pertama Nokia meraih laba, setelah beberapa tahun sebelumnya selalu mengalami kerugian.
Pada 2018 Nokia menelan kerugian € 549 juta. Begitu pun pada tahun fiskal 2017, Nokia mencatatkan rugi bersih sebesar 1,49 miliar euro atau setara US$1,8 miliar. Kerugian ini naik dua kali lipat dari tahun 2016 dimana perusahaan mencatatkan rugi bersih 751 juta euro.
Sayangnya laba yang baru saja diraih bisa saja menguap. Pasalnya perusahaan membutuhkan dana tak kurang dari € 500 juta untuk mengatasi dampak dari pandemi corona. Kondisi itu diperburuk dengan dengan penurunan kontrak jaringan di China, sehingga bisa menyebabkan penurunan pendapatan pada akhir 2020.
Sebagaimana diketahui, pada Mei lalu Nokia dibekukan dari dua tender 5G senilai hampir $ 10 miliar di China, pasar telekomunikasi terbesar di dunia yang mempercepat peluncuran 5G, saat sebagian besar negara lain mengurangi penyebaran karena pandemi Covid-19.
China Unicom dan China Telecom telah mengumumkan sejumlah pemasok untuk penyebaran jaringan 5G mandiri (stand alone/SA) senilai CNY32,3 miliar ($ 4,56 miliar), tanda melibatkan Nokia.
Laporan lokal menunjukkan Huawei menerima bagian 55%, dengan pesaing domestiknya, ZTE, sebesar 33%. Ericsson diserahi sekitar 10% dan vendor peralatan China lainnya, Datang Mobile 2%.
Sebelumnya, Nokia yang mengajukan penawaran untuk proyek pengadaan terpusat untuk para operator, bersama-sama membangun satu RAN 5G nasional, juga tidak masuk dalam daftar pemasok China Mobile untuk tahap kedua dari penyebaran 5G senilai $ 5,2 miliar.
Saat itu, Huawei memenangkan 57,3% dari kontrak terbaru China Mobile, disusul ZTE 28,7%, Ericsson 11,5% dan Datang Mobile 2,6%.
Sekedar diketahui, bisnis jaringan yang digeluti Nokia adalah hasil akuisisi senilai $ 16,6 miliar dari Alcatel-Lucent yang diselesaikan pada bulan November 2016. Itu terjadi 10 tahun setelah Lucent Technologies bergabung dengan Alcatel, perusahaan raksasa asal Perancis.
Pada tahun yang sama Nokia merinci rencana untuk membentuk usaha patungan dengan raksasa Jerman Siemens, yang diresmikan pada 2007. Namun merger diantara kedua raksasa itu berakhir pada 2017, saat Nokia sepenuhnya mengambil alih saham Siemens di perusahaan itu.
Sayangnya setelah penggabungan aset sekaligus otak dari empat perusahaan besar, Nokia tidak tidak secara otomatis menguasai pasar jaringan telekomunikasi dunia. Meski mengungguli Ericsson, pesaing tradisionalnya, saat ini Nokia masih berada di bawah bayang-bayang sang market leader, Huawei.
Menurut kajian lembaga riset telekomunikasi Dell’Oro, pada 2019 Huawei memegang 27,8% pangsa pasar peralatan telekomunikasi dunia. Disusul Nokia dengan 16% dan Ericsson 13,6%.
Tantangan Profitabilitas
Mengembalikan bandul kejayaan Nokia jelas menjadi tanggung jawab Pekka Lundmark. Sejatinya dengan segala sumber daya yang dimiliki Nokia, Pekka memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mengatasi pasar yang terbilang kompetitif.
Meski demikian tidak mudah meruntuhkan dominasi Huawei yang telah menguasai pasar jaringan telekomunikasi, saat dimulainya era 3G di pasar global pada 2005. Apalagi saat ini Pekka dihadapkan pada sejumlah tantangan. Menurut John Byrne, Service Director pada perusahaan Global Technology Telecom and Software, di antara tantangan terbesarnya, perusahaan sedang bekerja dengan tergesa-gesa untuk beralih dari prosesor field programmable gate array (FPGA) ke prosesor system-on-a-chip dalam produk radio 5G, agar biaya yang dikeluarkan tidak lebih para pesaing.
Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah, Nokia mengalami penurunan pendapatan dari tahun ke tahun di semua segmen, termasuk bisnis perangkat lunak mandiri yang telah dibangunnya selama beberapa tahun. Perusahaan harus meningkatkan R&D 5G untuk mengejar ketinggalan setelah salah langkah dalam pengembangan FPGA sebelumnya.
“Paling memprihatinkan, unit Teknologi perusahaan yang sangat menguntungkan, yang melisensikan hak paten Nokia dan aset kekayaan intelektual lainnya, mengalami penurunan pendapatan dan laba operasi dua digit selama dua kuartal terakhir”, ujar John Byrne, seperti dilansir dari laman Network Matter (4/8/2020).
Namun, terlepas dari semua tantangan tersebut, menurut John Byrn, Pekka bergabung pada perusahaan yang telah banyak memiliki hal-hal positif. Diantaranya, transisi dalam hal SoC (system on chips) yang terbilang baik. Perusahaan mengharapkan produk SoC yang diproduksi oleh ReefShark, dapat memenuhi 35% dari pengiriman radio 5G pada akhir tahun, dan semua produk 5G pada akhir tahun 2022.
Kemudian, aset IP & Jaringan Optik (ION) perusahaan, dan khususnya produk perutean IP, terus menikmati momentum industri yang kuat. Pengenalan Nokia atas rangkaian solusi fabric pusat data yang kaya pada Juli lalu, menunjukkan bahwa perusahaan terus berinvestasi dalam inovasi.
Di sisi lain, meskipun perusahaan jelas kehilangan pangsa pasar radio di China, perusahaan telah mengamankan kemenangan 5G yang signifikan di seluruh domain radio, inti, transportasi, dan layanan di sejumlah pasar (termasuk inti 5G di China dan tingkat kemenangan 5G 100% di luar China).
Yang tak kalah penting, meningkatnya resistensi atau penolakan dari banyak negara karena tekanan Amerika Serikat, kemungkinan akan mendorong operator untuk menghindari vendor China dalam tender 5G mereka yang akan datang. Kondisi tersebut jelas memberikan peluang besar bagi Nokia, mengingat industri jaringan mobile hanya didominasi oleh segelintir vendor saja.
Meski diuntungkan dengan kondisi geopolitik yang saat ini tidak menguntungkan vendor China, Pekka Lundmark menegaskan bahwa, para pesaing harus berhati-hati.
Dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg, Pekka menegaskan bahwa ia tidak ingin menjadi bagian dari konflik perdagangan dan politik. Pekka mengatakan bahwa perusahaan akan menghilangkan keterikatan geopolitik dan mempertahankan posisi netral.
Saat ini, AS menggunakan kehebatannya untuk mencegah perusahaan China, Huawei, memasuki pasar jaringan seluler 5G global. Ini membuka lebih banyak peluang bagi Nokia di pasar peralatan jaringan 5G. Namun, Lundmark, memastikan bahwa ia akan mencari pijakan sendiri.
“Saya pikir itu akan menjadi kesalahan besar jika satu perusahaan mulai mempromosikan agenda politik mereka.” ujarnya.
Menurutnya sebagai perusahaan murni, Nokia akan bersikap transparan dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
“Sangatlah penting untuk menjaga hubungan baik dengan hampir semua wilayah dan pemerintah di dunia. Kami berkomunikasi dengan pemerintah di berbagai wilayah di dunia, dan itu seperti biasa bagi kami. Yang harus kita lakukan sekarang adalah melihat pratinjau rencana saat ini dan kemudian merumuskan rencana baru tentang bagaimana mengembangkannya”, pungkas Pekka.
Tak dapat dipungkiri, apa yang terjadi sekarang dengan Nokia akan sangat ditentukan oleh kepemimpinan Pekka Lundmark dalam beberapa bulan mendatang.
Seperti yang ditunjukkan oleh pesaing tradisionalnya, Ericsson dalam tiga tahun terakhir. Setelah melakukan serangkaian transformasi, profil operasi perusahaan dapat ditingkatkan secara dramatis dalam waktu singkat dengan rencana yang baik dan beberapa disiplin internal, termasuk pemangkasan biaya yang signifikan untuk pos-pos yang tidak perlu.
Kini kita tunggu apakah kepemimpinan Pekka dapat mengubah peruntungan Nokia di masa depan?