Alkindyweb.com – Indonesia resmi menapaki teknologi 5G, saat Telkomsel menjadi pelopor pada 27 Mei 2021. Langkah Telkomsel kemudian diikuti oleh Indosat Ooredoo (kini IOH), dan XL Axiata. Itu berarti layanan selular generasi kelima itu telah ‘menyambangi’ publik setahun lalu.
Peluncuran 5G menempatkan Indonesia tak kalah dengan negara-negara front liner lainnya. Seperti China, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Peluncuran tersebut menunjukkan, operator-operator Indonesia bisa lebih cepat menggelar 5G dari prediksi sebelumnya. Kajian ITB (Institut Teknologi Bandung) misalnya, memperkirakan komersialisasi 5G di Tanah Air dilakukan paling cepat 2023 atau 2025.
Ada harapan tinggi yang diusung operator saat menggelar 5G. Sesuai laporan ITB, kehadiran 5G bisa menimbulkan multiplier effect yang luar biasa. Tak tanggung-tanggung, berkat 5G, ekonomi Indonesia bisa terdongkrak hingga Rp 2.800 triliun pada 2021 – 2030. Nilai ini setara dengan 9,5% PDB.
Senada dengan ITB, hasil studi Google, Temasek, Bain & Company pada 2021, menunjukkan ekonomi digital di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara, mencapai sekitar US$70 miliar, dan diperkirakan mampu menembus US$146 miliar pada 2025.
Sementara dari sisi operator, studi Cisco bersama AT Kearney, menyebutkan bahwa adopsi 5G dapat meningkatkan pendapatan tahunan operator telekomunikasi hingga 1,83 miliar dolar atau berkisar Rp25 triliun per tahun pada 2025.
Sayangnya, setahun setelah diluncurkan, kita tidak melihat euphoria di masyarakat. Masyarakat hanya tahu bahwa 5G memiliki latensi yang rendah – sekitar 1 milidetik, atau 20x lipat lebih cepat dari 4G. Sehingga 5G disederhanakan menjadi sekedar ganti smartphone.
Padahal 5G bukan soal kecepatan semata. Kehadiran 5G dapat menumbuhkan beragam use case yang dapat membantu produktifitas dan efisiensi, bagi industri, lembaga dan pemerintahan.
Baca Juga: Guangzhou dan Shanghai Bersaing Mempercepat Target Coverage 5G
Hingga kini coverage 5G masih sangat terbatas. Bisa jadi karena operator tidak terlalu agresif dalam memasarkan 5G.
Kurang “bersemangatnya” operator mengggelar 5G secara besar-besaran dapat dimaklumi. Operator terkendala dengan banyak hal. Terutama keterbatasan frekwensi, ekosistem yang belum terbentuk, dan use case yang masih meraba-raba.
Hingga kini pemerintah belum mengalokasikan spectrum yang memang dikhususkan untuk layanan 5G. Sehingga operator harus mengorbankan sebagian existing spectrum untuk layanan 5G.
Wajar jika 5G tidak maksimal. Karena untuk memperoleh manfaat dari layanan 5G, diperlukan minimal 100 Mhz pada band spectrum sama. Itu pun harus berdampingan (contiguous).
Baca Juga: 34 Ponsel 5G yang Bisa Digunakan di Indonesia
Halaman berikutnya
Pertanyaan besarnya, benarkah kita sudah membutuhkan 5G?